Kapan Batik Menggantikan Jas?
Oleh: *Murni Simarmata
Pelantikan anggota DPR 3 hari lalu bersamaan dengan hari batik nasional. Pernahkah kita sekedar berangan-agan menyaksikan 575 anggota DPR yang dilantik hari itu kompak mengenakan batik, bukan jas, sambil mengucapkan sumpah jabatan? Atau pernahkah kita beragan-angan menyaksikan presiden mengenakan batik saat menyampaikan pidato kenegaraan?
Tak bisa dipungkiri bahwa para pejabat kita telah
terlebih dahulu memberi contoh semangat pemakaian batik dalam berbagai
acara formal. Tapi mengapa mereka tidak pernah membuat wacana untuk
menjadikan batik sebagai busana resmi dalam acara-acara "sangat formal"
seperti pelantikan atau pidato kenegaraan.
Apakah karena
acara-acara seperti ini biasanya dihadiri tamu-tamu negara sehingga
wajib mengenakan busana resmi internasional? Atau perlukah mengubah UU
agar jas dapat digantikan batik dalam semua seremoni nasional?
Memperkuat Ekonomi Nasional
Pertanyaan-pertanyaan
di atas sesungguhnya hendak mengajak kita beranjak dari sekedar
beretorika membangun semangat nasionalisme melalui batik. Tanpa
mengesampingkan arti penting semangat nasionalisme, tren pemakaian batik
yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini semestinya dapat
dikapitalisasi menjadi jalan memperkuat fundamen ekonomi dalam negeri.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa banyak dari antara pejabat kita yang doyan
berbelanja barang-barang mahal dari luar negeri, termasuk berburu jas
yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Jika batik
dijadikan busana resmi dalam setiap seremoni kenegaraan, bisa kita
bayangkan berapa alokasi belanja jas para pejabat kita di luar negeri
yang akhirnya dibelanjakan di dalam negeri.
Tidak masuk akal
mereka akan tetap berburu batik super mahal di luar negeri, karena
Indonesia adalah rumah batik yang telah diakui dunia sebagaimana
ditahbiskan UNESCO sepuluh tahun lalu.
Jika para pejabat telah
memulainya dalam acara-acara paling formal, rasa percaya diri masyarakat
untuk menggunakan batik dalam acara lebih formal akan tumbuh dengan
sendirinya. Akan muncul iniasitif menggunakan batik oleh para pengantin
pria.
Pamer jas pengantin super mahal produksi luar negeri oleh
pasangan selebriti atau para pengantin tajir di media sosial mungkin
akan berkurang, dan pelan-pelan digantikan, misalnya, dengan pamer batik
Tiga Negeri (salah satu merek batik tulis prestius yang diproduksi di
Solo).
Para pengacara kondang berdompet tebal seperti Hotman Paris
Hutapea mungkin akan mengurangi jatah belanja jas mahal dari luar
negeri dan mulai gemar berburu batik dengan harga paling mahal.
Uraian pengandaian-pengandaian ini dengan mudah dapat kita perpanjang
untuk menunjukkan peluang besar mengurangi belanja Dollar atau mata
uang asing oleh para pejabat dan penduduk Indonesia untuk berburu mode
jas di luar negeri, jika preferensi terhadap batik sebagai pengganti jas
dapat dilakukan dengan baik. Barangkali nilainya tidak besar, tapi akan
turut mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Politik Budaya-Ekonomi
Tidak
hanya mengurangi belanja Dollar atau mata uang asing para pejabat dan
penduduk Indonesia, meningkatkan tren pemakian batik juga akan
mendongkrak industri dalam negeri.
Serbuan
kain bermotif batik dari Cina dan India yang menghiasi pemberitaan
dalam negeri dalam beberapa hari terakhir menunjukkan animo masyarakat
yang semakin tinggi dalam berbelanja batik. Namun, pada kenyataannya
batik belumlah menjadi merek prestisius dalam benak mayoritas penduduk
Indonesia.
Penggunaan
batik mayoritas masih sekedar ekspresi rasa nasionalisme, bukan sebuah
kebanggan terhadap mode. Karena itulah industri-industri penghasil batik
di dalam negeri masih berlevel UKM (Usaha Kecil Menengah). Belum bisa
beranjak ke level lebih tinggi karena batik belum menjadi pilihan mode
utama di pasar industri garmen Indonesia.
Bukan sebuah khayalan
kosong jika para pejabat Indonesia bisa memberi teladan menjadikan batik
sebagai pilihan utama dalam mode berbusana, akan lahir industri besar
dalam negeri yang akan memproduksi kain-kain bermerek batik Nusantara
untuk mengatasi serbuan kain impor.
Indonesia memiliki modal
lebih dari cukup untuk memenangkan persaingan ini karena memiliki hak
paten terhadap merek-merek batik Nusantara sebagaimana telah diakui
UNESCO.
Pemerintah hanya perlu mensosialisasikan motif-motif
seperti apa yang termasuk batik Nusantara sehingga pasar dalam negeri
akan menjadikannya sebagai pilihan utama.
Di sisi lain, para
produsen batik tulis dapat diarahkan untuk memenuhi permintaan terhadap
batik kelas premium (proses pengerjaan batik tulis lebih rumit sehingga
harganya dipasar relatif lebih tinggi).
Jika peminat batik kelas
premium meningkat (misalnya oleh para pejabat tinggi, para pengacara
kondang, selebriti dan lain sebagainya) para perajin batik tradisional
tidak akan ragu berinvestasi untuk melatih tenaga-tenaga baru untuk
meningkatkan produksi.
Dengan demikian, keluhan para perajin batik
tulis atas serbuan batik printing (cetak) tidak terdengar lagi. Dua
jenis industri ini dapat melangkah maju bersama karena menyasar pasar
yang berbeda: batik tulis untuk pasar ekonomi menengah ke atas, batik
cetak untuk kelas menengah ke bawah.
Tapi semua angan-angan panjang ini tidak akan pernah menjadi kenyataan
jika sebuah pertanyaan dasar belum bisa kita jawab dengan baik: kapa
batik menggantikan jas?
Untuk lebih jelas lagi membaca artikel lain Murni Simarmata silahkan kunjungi murni simarmata site
* Dosen Aro Gapopin, Aktif Mengajar di SMK Yadika 2 Jakarta
How many people can I win a casino slot machine? - drmcd
BalasHapusYou need 서산 출장마사지 to know about 태백 출장마사지 a casino slot 대구광역 출장안마 machine, not only in terms of payout percentage and player percentages 김해 출장안마 but also 하남 출장샵 how much money can be made.