TOKO BUKU TAMAK
Hari Minggu cerah, hari itu biasanya orang-orang bertamasya bersama kekasih pujaannya bagi mereka yang sedang kasmaran atau bersama keluarga bersantai ria di rumah—mungkin saja mereka pergi ke tempat hiburan atau melakukan hal lain yang menyenangkan, tidak terkecuali si Naufal mahasiwa semester VI sastra Prancis yang nampak bergegas dari kostannya yang kumuh menuju ke suatu tempat kencannya.
Di saku kemejanya yang lusuh
tergolek uang rincingan yang tidak sempat ia hitung terlebih dahulu. Dia
menunggu bus jurusan Ciputat—Pulogadung di halte sebelah rumah makan padang
sambil sesekali memandangi jalan legam yang tak bertrotoar, tak lama kemudian
bus itu tiba dan ia bergegas tuk naik, tak lama kemudian kenek yang biasa
melakukan pekerjaan rutinitasnya meminta ongkos dan dengan terpaksa dia merogoh
uang recehan tersebut untuk membayar ongkos angkot tersebut yang nampak lengang
dari penumpang. Sambil berfikir panjang diambil rokok di tasnya yang kumal,
dibakarnya dan dihisap dengan napas panjang, tumben pagi tadi dia beli rokok
ketengan di warung Mpok Ati, biasanya
dia ngebon disana, kalau saja dihitung hutangnya di warung Mpok Ati mungkin dia
tidak mampu untuk membayarnya.
Naufal nampak tenang dan berharap
banyak agar nantinya setelah dia sampai di tempat yang dipujanya akan bisa
membaca beberapa teori dan kritik sastra di toko buku, maklumlah dia tak mampu
tuk membelinya, membayar uang kost saja sudah sulit apalagi membeli buku
original, haruslah dia pintar-pintar menyematkan keindahan akademis dengan cara
seperti ini. Kalaulah belajar dia biasanya menghabiskan waktu berjam-jam di
perpustakaan—karena memang kawan-kawan sekelasnya menyebutnya macan
perpustakaan, faktanya dia jarang keluar kost. Kesehariannya dihabiskan hanya
untuk berkencan dengan buku—kalau baru
dapat kiriman dari orang tuanya di kampung dia tidak segan-segan tuk mengkopi
buku milik dosennya yang biasanya disambanginya—terkadang dia terpaksa tidak
makan dua hari demi untuk memfotokopi buku idolanya, begitu gilanya ia studi
dan keranjingan buku sampai ia lupa menyisihkan untuk uang kost atau bahkan
sampai lupa pula tuk berkencan dengan lawan jenis karena alasan material.
Diantara gedung-gedung yang
menjuntai ke arah faktuil tersiar suatu ilmu absolut disitulah tertambat
Berbagi kemapanan yang terinspirasi oleh keinginan hatinya, komik, novel,
buku-buku, jurnal dan berbagai pernik-pernik informasi baru seolah menggeliat
hendak tuk ditelan.
Tak jauh dari gedung itu, dia turun
di halte kemudian dengan garangnya ia melangkah ke mall, sudah jam 3 lewat
seperempat dia menoleh ke toko jam, dia memperhatikan wanita-wanita belia
lajang yang mempertontonkan bokong montok nya dan dandanan yang menor
menandakan suatu kemapanan dari luar. Dia berfikir inilah dunia dan budaya pop
yang merajai Jakarta—maklumlah
saat ini sedang in dengan hip style, kalaulah ditilik memang tidaklah seperti
wanita di kampungnya yang kuno dan lugu yang biasanya memakai kerudung atau
kebaya.
Kalaulah dihitung-hitung diantara para
pengunjung mall tersebut mungkin dialah salah satu manusia asing yang
terisolasi di tempat itu, tetapi dengan berbekal keyakinan akan menemukan keindahan
yang bisa direguknya, dia tidak menghiraukan manusia kaleng itu. Sesampainya di
dalam, nampak sekuriti menolehnya dan tampak memperhatikannya maklumlah baru
beberapa pengunjung yang sepertinya yang diusir dari tempat itu, sambil begumam
dalam hati mungkinkah ia diusir dari tempat itu—ia masuk menuju ekskalator yang
memang tepat dimuka ada meja sang sekuriti, memang sudah menjadi alasan
keamanan publik—tas pengunjung di periksa satu persatu. Dan dengan napas lega
dia dapat melewati rintangan itu. Mungkin sekuriti melihatnya nyentrik seperti
anak band yang nyeleneh dengan rambut gondrong kusut bukan karena digimbal
tetapi memang jarang sampoan, dilengannya tersempal tas rajut kumal khas Jogja
yang memberi kesan kumuh yang tertempel di badannya.
Tepatnya di sebuah toko buku tenar
dia masuk kemudian menitipkan tasnya dan langsung menuju ke rak buku sastra dan
filsafat yang memang jarang disentuh calon pembeli—disana dapat ia lihat
bangunan buku tergolek bangga dan siapapun yang membaca apalagi membelinya akan
terkena mengidap over minded, ia mengamati satu persatu buku sastra dan
tampaknya buku yang ia cari memang tidak ada. Dengan muka masam dia beralih
menuju rak berikutnya dan disana juga dia tidak menemukan buku idamannya. “sial
benar aku hari ini”. Tanpa sengaja dia berpapasan dengan seorang wanita yang
tidak lain adalah Lia teman sekelasnya. “Pang
kamu cari buku apa?”. “Aku cari buku Agulhon, Maurice: “La Seconde
République, 1848-1852“, in: Histoire de la France sama Derrida and
Deconstruction”. “Oh nggak mungkin buku itu ada di sini itu khan buku lama,
kalau mau cari buku itu ke toko buku di sebelah gedung ini saja. Dijamin
buku-buku yang sejenisnya ada disana, oh ya ngomong-ngomong aku mau ke Mac Dee
perutku udah keroncongan nih, kamu mau ikut?” kata Lia seraya pamitan tuk
pergi. “oh ya terimakasih, aku mau langsung aja ke sana”. jangankan untuk ke Mc Donald tuk makan
siang, untuk ongkos pulang saja sudah pas-pasan, jentera kata yang terkais di
kalbunya yang tiris.
Dia berjalan ke luar mall, dan langsung
menuju ke tempat yang diceritakan oleh Lia. Sesampainya disana dia menitipkan
tasnya di tempat penitipan barang, ketika dia masuk ke dalamnya, “kalaulah aku
mapan sudah kutelanjangi buku ini dan kuperkosa isinya” dia bergumam di dalam hati. Dan beberpa pasang mata
tertuju padanya mulai dari pengunjung sampai cashier menggeliat dan
membelalakan matanya melihat Naufal yang masuk ke tempat tersebut. Ketika ia
menemukan tempat yang pas untuk melihat-lihat tibalah kini buku-buku yang ia
inginkan, walaupun terkesan mahal akan tetapi yang terpenting adalah dia dapat
menelannya mentah-mentah dan yang pasti dia
akan mencari tempat yang strategis untuk membacanya. Tampak dua orang
pekerja counter memperhatikannya dari kejauhan. Dan tak lama keduanya
menginterogasi Naufal agar pergi dari tempat itu. Alangkah bodohnya sang algojo
yang hanya tahu mengais keindahan lewat kerjanya yang sembrono yang dengan
terpaksa mengusir Naufal karena mengidap penyakit bacaan atau memang
dikarenakan Naufal tidak mampu untuk membelinya. Patung-patung berdiri tegar
dan siapapun anda, terkesima oleh cover indah buku itu apalagi kemolekan
tempatnya.
Tetapi alangkah bangsatnya sang
algojo itu yang hanya tahu mengais keuntungan. Lebih baik menjadi macan
perpustakaan daripada menuju tempat itu, kalau saja algojo berbudi tentu
hasilnya akan menggembirakan.Tetapi toko buku tamak bergejolak karena melonjak
harganya, Naufal bergumam dalam hati.
Meraih
kepintaran itu sulit, butuh ransum kepekaan dan materialisme kemapanan.
Profesor, businessman, anak-anak lajang kaya raya akan mudah menjadi cerdas
karena terlalu kerap menelan keindahan itu.
Sementara
Naufal yang menjadi mahluk gembel akan terusir dari peradaban dan tak akan
merecap keindahan buku itu. Memang toko buku elit, yang datang adalah mahluk
elit, bukan mahluk sembelit apalagi sulit. Toko buku tamak adalah diperuntukkan
untuk mereka yang berdasi bukan mereka yang berbusana compang-camping, Kalau
Naufal berfikir tenyata memang selalu ada distorsi dan kelas hitam—putih untuk
datang ke sana.
cerpen ini adalah secercah
kehidupan *penulis—syair yang berjudul
toko buku tamak
Pondok Indah 23 Februari 2003
*Icard Nurjantan adalah bukan nama sebenarnya. Lahir di Jakarta, 19
Juni 1981. Pernah ngeleseh selama 3 tahun di Jogja, penikmat dan pengamat seni.
Pernah Bergiat di teater Plonk STIBA Jakarta Internasional, dan tutor sastra
pada Forum Lingkar Filsafat dan Sastra KOPLIK Ciputat, bergiat di berbagai LSM.
Pernah menjabat menjadi Ketua Senat ABA YPKK-STBA Technocrat 2001-02 dan pernah
pula menjabat sebagai pimpred Communicado Press (sebuah wadah penulis muda).
Aktif menulis di berbagai surat kabar terkemuka di Jakarta dan daerah. Pernah mengajar di Kampus swasta terkemuka di Jakarta. Saat ini sedang
menulis sebuah kumpulan cerpen (Berujung besi)
0 Response to "TOKO BUKU TAMAK"
Posting Komentar