Pengendalian Rokok dalam Kalkulasi Ekonomi Nasional*
Oleh: Murni Simarmata#
Rencana pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 23%
tahun depan, pantas diapresiasi. Tapi lebih dari sekedar mengapresiasi,
rencana tersebut mesti dikawal ketat oleh semua elemen masyarakat yang
peduli dengan isu-isu kesehatan agar pemerintah tidak berubah pikiran lagi.
Masih segar dalam ingatan kita keputusan pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok di penghujung tahun lalu (2018) setelah sebelumnya direncanakan dengan matang dan mendapat apresiasi luas.
Pertimbangan
pemerintah waktu itu, sebagaimana dipublikasikan berbagai media,
kenaikan cukai rokok dapat mengganggu stabilitas ekonomi 2019 yang nota bene adalah tahun politik.
Rokok
memang merupakan salah satu komoditas penting yang dapat mempengaruhi
dinamika ekonomi Indonesia dan dengan demikian juga dapat mempengaruhi
dinamika politik nasional.
Tapi
tidak sepenuhnya dapat dibenarkan bahwa langkah-langkah efektif dalam
pengendalian konsumsi rokok dihambat oleh proyeksi ekonomi-politik
jangka pendek.
Kenaikan tarif cukai secara reguler sebagai upaya
paling efektif dalam meredam bahaya rokok mesti ditempatkan dalam
karangka kepentingan lebih besar dan visi jangka panjang.
WHO
mencatat, hingga tahun 2016 jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai
30% dari total jumlah penduduk, menempatkan Indonesia dalam urutan
ketiga dengan jumlah perokok aktif terbanyak setelah Cina dan India.
Dalam laporan berjudul Global Report on Trends in Prevalence of Tobacco
yang dipublikasikan pada pertengahan tahun 2018 tersebut, WHO
memprediksi Indonesia akan gagal mencapai target mengurangi prevalansi
rokok sebesar 30 % pada 2025 jika tidak ada upaya serius dan konsisten
dari pemerintah membenahi kebijakan pengendalian.
Apa konsekuensi jika prediksi WHO tersebut menjadi kenyataan? Mari kita simak data-data lain.
Lima penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia, menurut Survei Indikator Kesehatan Nasional, adalah penyakit jantung, stroke,
tuberklosis, diabetes melitus dan gangguan pernapasan kronis. Rokok
(baik secara langsung maupun tidak langsung---perokok aktif maupun
pasif) merupakan salah satu penyebab utama kelima penyakit ini.
Jika
dipadukan dengan data-data BPJS, biaya pengobatan kelima penyakit ini
menyedot dana terbesar. Dengan keadaan BPJS sekarang yang berjuang keras
mengatasi kesulitan finansial untuk menanggulangi biaya berobat
penduduk Indonesia.
Para pembaca dapat memprediksi sendiri keadaan di tahun 2025 jika
jumlah perokok terus bertambah seiring dengan pertambahan penduduk yang
pasti juga akan diikuti jumlah pengidap kelima penyakit berbahaya di
atas.
Maka, sekali lagi, rencana pemerintah menaikkan cukai rokok
mesti dikawal secara serius oleh semua elemen masyarakat. Secara logis,
inilah upaya paling efektif untuk menekan jumlah perokok aktif di
Indonesia karena itu layak juga mendorong pemerintah untuk menjadikan
kenaikan cukai rokok sebagai program reguler.
Pemasukan negara
dari kenaikan cukai ini dapat digunakan untuk program-program
pemberdayaan masyarakat yang terkena dampak ekonomi langsung.
Kelompok
masyarakat yang perlu diberdayakan yakni para buruh pabrik rokok, para
pedagang eceran dan berbagai elemen masyarakat yang akan mengalami
langsung dampak gejolak ekonomi akibat kenaikan harga rokok di pasaran.
*Artikel ini dimuat di Kompasiana tanggal 27 September 2019 05:04 Diperbarui: 27 September 2019 09:30
# Penulis adalah Dosen Aro Gapopin
lihat sumber Murni simarta di webiste
0 Response to "Pengendalian Rokok dalam Kalkulasi Ekonomi Nasional* "
Posting Komentar